Jumat, 05 Oktober 2012

Menjaga Perasaan

Seorang presiden Afrika diundang makan malam ke rumah presiden Prancis, Charles de Gaulle. Diakhir jamuan para pelayan membawakan mangkuk kecil berisi air hangat untuk setiap tamu. Mangkuk itu adalah mangkuk cuci tangan untuk membersihkan tangan mereka. Namun tamu dari Afrika tidak mengetahui hal ini karena di Afrika tidak ada kebiasaan seperti itu. Ia mengira mangkuk kecil itu berisi minuman. Maka Ia pun meminum habis isi mangkuk itu.

Di meja itu beberapa orang tersenyum. Mereka sangat terhibur dengan kesalahan konyol ini. Tapi de Gaulle, dengan nada berwibawa mengangkat mangkuknya dan berkata, "Tuan-tuan mari bersulang!" Kemudian ia meminum air yang ada di mangkuk cuci tangannya dan orang-orang yang tadi mengolok-olok segera mengikutinya. Berkat tindakan de Gaulle, tamu dari Afrika itu tidak "kehilangan muka". De Gaulle baru saja memberi pelajaran berharga mengenai menjaga perasaan. Ya, menjaga perasaan adalah sebuah perbuatan mulia yang patut dimiliki oleh siapa pun khususnya oleh para pemimpin. Sayangnya masih banyak kejadian-kejadian yang justru menunjukan hal yang sebaliknya. Demi terlihat hebat, tidak sungkan-sungkan sang pemimpin mempermalukan bawahannya di depan umum. Beberapa waktu yang lalu saya pernah melihat sebuah kejadian menarik di televisi, yaitu ketika seorang pemimpin yang sedang pidato menegur tamunya karena tertidur saat Ia sedang berbicara. Tentu saja ia nampak hebat karena tegas dan berwibawa. Tapi saya jamin, bagi orang yang ditegur adalah kejadian memalukan yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Kalau saja tujuannya adalah untuk mendisiplinkan bawahannya, bukankah Ia bisa menegurnya langsung tidak dihadapan banyak orang termasuk penonton televisi? Dalam lingkup dunia kerja, prinsip menjaga perasaan ini penting sekali untuk dilakukan. Ini semata bukan hanya untuk kepentingan subjektif, melainkan juga sebagai bentuk penghormatan kita pada Tuhan melalui mahkluk ciptaan-Nya. Mereka semua adalah kesayangan Tuhan yang harus dijaga perasaannya. Mereka bisa berperan sebagai apa saja. Bisa sebagai atasan, bawahan, nasabah, mitra kerja, pelanggan, bahkan pesaing. Pada dasarnya, orang-orang yang hadir dalam kehidupan kita adalah “tamu” utusan Tuhan yang harus di layani dengan baik dan dijaga perasaannya. Seperti kita ketahui bersama bahwa di kehidupan ini berlaku Hukum Sebab Akibat. Hukum ini menyatakan bahwa setiap akibat pasti ada sebabnya, dan setiap sebab pasti mempunyai akibat. Segala sesuatu yang merupakan "sebab" sebenarnya adalah "akibat" dari sesuatu yang ada sebelumnya. Dan "akibat" tersebut menjadi "sebab" dari sesuatu yang lain. Tidak mungkin memulai rangkaian peristiwa yang "baru". Semua agama dan filsafat berbicara tentang Hukum Sebab Akibat dengan bahasa yang berbeda-beda. Pada prinsipnya hukum ini mangungkapkan bahwa, Jika Anda menanam pohon kebaikan, kelak akan memetik buah kebaikan. Jika Anda menanam pohon keburukan, kelak Anda pun akan memetik buah keburukan. Itu berarti, jika kita menjaga perasaan orang lain, maka perasaan kita pun juga akan dijaga Tuhan. Pembaca yang baik, Mari kita selalu berusaha menjaga perasaan siapa pun, bukan semata karena mengetahui ada keuntungan dari Hukum Sebab Akibat seperti yang sepintas kita bahas di atas, melainkan karena bentuk penghambaan kita pada Yang Maha Kuasa dan juga sebagai keberpihakkan kita pada sisi jiwa kita yang baik, yang diliputi cahaya cinta kasih. Rawat dan jagalah perasaan mereka dengan ketulusan tanpa batas. SUMBER tinggalkan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites