Minggu, 06 November 2011

persaingan Antar Divisi di Perusahaan



Meskipun berada dalam satu atap atau bekerja di bawah satu bendera, kita sering melihat situasi sulitnya individu dalam dua departemen yang berbeda bekerjasama. Seorang account officer bank berteriak marah ketika menceriterakan betapa pihak kantor pusat menggampangkan dan mengabaikan peringatannya untuk memperbaiki servis pada nasabah. Sebagai akibat, nasabah menarik seluruh dananya dari bank. “Apa sih salahnya ikut memikirkan kepuasan pelanggan? Sekarang kalau nasabah lari, siapa yang mau menanggung tidak tercapainya target cabang kami?”

Di perusahaan lain di mana distribusi merupakan tulang punggung kelancaran servis pada pelanggan, sikap mementingkan kepentingan sendiri juga menjadi masalah sehari-hari. Permintaan cabang untuk "meminjam" stok barang dari cabang lain kerap tidak diluluskan oleh cabang tersebut. Alasannya, mereka khawatir kalau stok mereka sendiri habis, sehingga tidak bisa melayani pelanggan di cabangnya. Alhasil, lagi-lagi pelanggan dikecewakan dan perusahaan pun rugi. Kita lihat, upaya mementingkan diri sendiri atau divisi sendiri seolah menutup mata para karyawan akan pentingnya nilai pelayanan pelanggan yang senantiasa digaung-gaungkan. Padahal, kita semua tahu, hidup mati perusahaan ditentukan oleh kepuasan pelanggan.

Gejala “silo”-ing’ seperti ini memang sangat berbahaya, apalagi bila dibiarkan berlarut-larut. Seorang kolega, dalam sebuah kesempatan meeting tim, menganjurkan anak buahnya untuk tidak membeberkan borok divisi sendiri. “Masih banyak support dari divisi lain yang bisa kita beberkan,” ungkapnya. Bila hal ini terjadi di perusahaan yang sangat besar, tentu kita bisa lebih memaklumi. Namun, di perusahaan dengan karyawan hanya sejumlah 50 orang, hal ini sangat bisa terjadi.

Padahal, kita semua tahu bahwa cara paling jitu untuk mengefisienkan layanan kita adalah dengan mengurangi birokrasi dan menguatkan integrasi horizontal. Bagaimana mungkin kita bisa bersaing bila antardivisi dalam perusahaan tidak ada upaya saling memahami, saling menolong, tidak adanya empati, dan kesulitan untuk bekerjasama secara seamless? Hal yang dipentingkan pelanggan adalah kebutuhannya terpenuhi, dan ia mendapat solusi atas permasalahannya. Jika itu tidak diperoleh, dengan mudah mereka beralih ke tempat lain. Pelanggan mana mau tahu tentang cara kita berorganisasi, berkomunikasi, dan berkoordinasi?

Tema sasaran bersama
Target yang terukur tentu saja hal yang positif karena bisa memotivasi kita untuk bergerak. Namun, bila kita terpaku pada target kuantitatif, misalnya saja target penjualan, kita bisa jadi seperti memakai kacamata kuda, berusaha untuk mencapainya tanpa peduli caranya. Inilah yang sering menjadi sumber ketegangan antardivisi. Sering terjadi satu pelanggan diperebutkan oleh beberapa cabang dalam satu perusahaan. Bisa juga pihak sales membuat janji pada pelanggan tanpa memikirkan kesulitan yang akan dihadapi oleh back office. Terkadang komunikasi macet hanya sampai di satu bagian, padahal kebutuhan pelanggan seharusnya diketahui oleh pihak atau divisi lain. Bila terjadi kesalahan, saling tudinglah yang langsung terjadi.

Keadaan cakar-cakaran seperti ini tentu harus dihentikan. Perusahaan yang lebih maju, tidak semata membuat target penjualan dan laba, tapi juga mengusung sasaran bersama yang berbentuk tema. “Kita sedang mengurangi tingkat kesalahan order-processing” atau "Kita sedang me-refresh pengetahuan kita tentang kebutuhan pelanggan”. Sasaran tematik ini ampuh untuk merekatkan bagian satu dengan yang lain, walaupun setiap divisi pasti mempunyai indikator prestasinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, kita bisa menemukan common ground yang membuat kerjasama antardivisi jadi lebih harmonis.

Dengan semakin terbiasanya karyawan dengan sasaran kualitatif, mereka pun akan juga mulai berpikir bukan sekadar uang, tetapi juga kualitas kerja. Bahkan, lebih jauh lagi, kualitas hidup. Gaung tema untuk jangka pendek tentu perlu juga ditunjukkan oleh komitmen pimpinan tertinggi, tidak bisa hanya ditugaskan kepada bagian kecil perusahaan yang bertugas mengumandangkan komunikasi ke seluruh perusahaan. Hanya dengan meng-cascade hal–hal kualitatif beginilah kita bisa mengembangkan hubungan yang lebih encer dan obyektif.

Bangun kapasitas
Tentu kita pernah menemui petugas frontline yang salah melayani pelanggan, karena kemampuannya yang terbatas. Sebelum kita menuduh ia tidak mau bekerjasama, kita sebaiknya memperhatikan, apakah teman kita ini tahu cara bekerja sama, tahu apa yang ditugaskan kepadanya, dan sejauh mana pengetahuan yang ia miliki tentang penyelesaian masalahnya. Orang yang terpaku pada tugasnya saja dan tidak berkesempatan untuk melihat rantai pelayanan secara menyeluruh, bisa tampil sebagai orang yang "tambeng" dan tidak mau tahu.

Kita memang tidak bisa menutup mata akan ungkapan: “Old habits die hard”, yang sering disinggung oleh para ahli manajemen perubahan. Hanya dengan pelatihan intensif yang bersifat multi-domain dan boundary-spanning baru kita bisa berdansa dengan perkembangan jaman. Kita harus memastikan bahwa manpower kita siap berkooperasi, bekerja sama dan berkoneksi dengan baik. Bukankah kita sendiri sering menyaksikan orang yang ngotot dan menekankan perbedaan sebagai orang yang hilang akal atau tidak berkapasitas? Ini saatnya kita kembali dan terus menghidupkan semboyan yang sangat genius: Bhineka Tunggal Ika. Jika kita tidak mengembangkan kapasitas diri, hanya memikirkan diri sendiri, tanpa memikirkan kepentingan bersama, akan terpecah-pecahlah spirit kita.

SUMBER






tinggalkan komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites