Pagi itu gerimis membelah jalanan kota Jakarta. Di salah satu ruang gedung perkantoran di bilangan Sudirman, seorang CEO sebuah perusahaan finansial berdiri dengan penuh rasa masygul. Minggu lalu, 25 karyawan terbaiknya dibajak oleh perusahaan pesaing. 25 orang sekaligus dalam waktu yang sama.
Peristiwa itu sungguh membikin sang CEO shock. Di tengah target pertumbuhan bisnisnya yang dipatok tinggi, kehilangan 25 orang terbaik sungguh merupakan pukulan yang signifikan (apalagi mereka semua dibajak oleh kompetitor yang sama). Ia hanya bisa memandang sendu ke jendela kantornya yang megah. Di luar sana, langit mendung masih saja menggantung dan gerimis masih saja turun.
Selamat datang di era Talent War. Inilah sebuah era dimana beragam perusahaan bertarung dan berjibaku untuk memperebutkan karyawan dan manajer-manajer ulung. Di tengah pertempuran yang acap sengit itu, tak jarang sejumlah perusahaan tergoda untuk melakukan predatory recruitment : membajak satu batalion karyawan terbaik milik para pesaingnya.
Ilustrasi yang mengawali tulisan ini sungguh terjadi di bulan lalu, ketika sebuah perusahaan sekuritas papan atas kehilangan 25 karyawan terbaiknya – dibajak oleh perusahaan di bidang yang sama dan baru mulai ekspansi.
Pembajakan antar karyawan tentu saja mengindikasikan kurangnya pasokan talenta-talenta terbaik (talents scarcity). Dan tak pelak ini merupakan sebuah ironi. Ditengah jutaan sarjana yang masih menganggur, di luar sana ternyata banyak perusahaan yang kelimpungan dan merasa kekurangan tenaga kerja andal.
Sejatinya, pembajakan karyawan – baik dengan cara halus ataupun setengah halus – telah menjadi fenomena umum di sejumlah industri – terutama di industri keuangan, perbankan, consumer goods, dan telekomunikasi. Enam bulan lalu, teman saya beserta seluruh anggota sebuah divisi di suatu bank – satu kampung – pindah serentak ke bank pesaing (ini ibarat memindah satu divisi full team ke perusahaan pesaing).
Kurangnya pasokan tenaga andal tidak hanya terjadi di perbankan (kalangan bank syariah bilang mereka kekurangan 4000 bankir syariah andal). Industri telco makin sulit mencari engineer. Pasokan pilot, nakhoda, dan masinis di Indonesia masih jauh dibawah kebutuhan yang ada (mencari supir taksi yang andal juga bukan hal yang mudah. Apalagi supir metromini).
Banyak teman saya yang menjadi HR/Recruitment Manager suka bilang, betapa sulitnya mencari kandidat bagus di beragam bidang. Entah itu di bidang sales, production atau apalagi di bidang IT (seorang klien saya bilang butuh waktu lebih dari 12 bulan untuk bisa mendapatkan programmer top).
Itulah kenapa industri head hunting (atau head hunter) bisa menjadi subur. Dalam era talent war yang keras, mereka sering menjadi partner perusahaan untuk merebut talenta-talenta terbaik.
Dan begitulah, para head hunter itu terus bergerilya : setiap pagi dan sore terus menelpon calon-calon bidikannya, dan merayu agar mereka mau pindah ke perusahaan klien-nya. Dan bujukan untuk pindah itu acap menggiurkan.
Bagaimana caranya memenangkan talent war yang sengit itu? Seperti yang sudah pernah saya sampaikan, mungkin cara yang paling afdol adalah dengan grooming talent from internal sources. Ada banyak cara yang bisa dilakukan. Salah satunya dengan secara reguler melakukan program Management Trainee (Management Development Program untuk Fresh Graduates).
Cara lain adalah mendirikan learning center dengan kurikulum pendidikan/pelatihan yang lengkap; dengan tujuan menggodok para calon top talents. Bank-bank besar seperti Bank BRI dan Danamon telah memiliki learning center yang megah dan terpadu. Beberapa waktu lalu, perusahaan AXA juga mendirikan Axa Learning Academy untuk mencetak para tenaga asuransi andal.
Meski butuh waktu panjang, cara-cara seperti diatas jauh lebih elegan dibanding teknik predatory recruitment yang bisa membuat pesaing yang dibajak kolaps dan terluka. Cara diatas juga mungkin lebih sustainable dibanding mengandalkan bantuan head hunter yang tiada lelah memburu para top talents.
Meski kadang dering telpon dan bujukan dari headhunter itu sungguh amat menggoda. Salah satunya adalah seperti ini : apakah Anda bersedia pindah ke perusahaan klien kami, dengan gaji dua kali lipat dari yang Anda terima sekarang?
Alamaak. Siapa tahan dengan godaan semacam itu?
SUMBER
tinggalkan komentar