Oleh Jansen Sinamo
"Anakku, kau belum lulus. Itu bukan suara Tuhan. Kau harus kembali ke pura dan kali ini bersungguh-sungguhlah agar mampu mendengarkan suara-Nya." Demikian perintah baginda dengan nada berat.
Putra mahkota hanya bisa terdiam lesu. Dengan lunglai ia pun kembali ke pura kerajaan di tepi hutan.
Sambil merenungkan bagaimana cara mendengar suara Tuhan, pikirannya melayang kembali pada amanat baginda minggu lalu. "Anakku, aku sudah tua. Sebentar lagi tiba saatnya aku lengser dari tahta dan bergabung dengan nenek moyang kita. Dan engkau akan duduk di singgasana ini menggantikan aku. Tetapi sebelum itu, ada satu lagi ujianlagi yang harus kau lalui."
"Ujian apa gerangan ayah ?" tanya pangeran dengan antusias.
"Pergilah ke pura kerajaan anakku. Tinggallah di sana beberapa lama dan dengarkanlah suara Tuhan. Kemudian laporkan kepadaku bagaimana sesungguhnya suara Tuhan."
Putra mahkota pun pergi ke pura. Ia menemukan sejumlah orang suci, begawan, dan pendeta beribadah di sana. Ada yang mendaraskan seloka-seloka suci, ada yang berdoa dalam hening, ada pula yang bersujud sembah tanpa kata. Semuanya mendekatkan diri pada Tuhan. Dan pangeran mengamati semuanya dengan saksama.
Tiga hari kemudian, putra mahkota kembali ke istana lalu melapor kepada raja. "Ayahanda, aku sudah berhasil mendengar suara Tuhan."
"Bagus ... bagus ... anakku," sambut raja. "Sekarang, ceritakanlah, seperti apakah suara Tuhan ?"
"Begini ayah, suara Tuhan itu amat syahdu, terasa indah, khidmat, dan menyentuh kalbu, rasanya bagaikan di serambi surga."
Perlahan-lahan raja menarik diri, bersandar di singgasana, dan menarik nafasnya dengan berat. Bahasa tubuhnya tegas mengatakan, itu bukan suara Tuhan. Dan baru saja ia disuruh kembali ke pura.
Kini, dia pergi kedua kalinya. Sebelum masuk, dia merenung, bertanya dalam hati, bagaimana cara Tuhan berbicara? Diambilnya tempat di sudut terluar, lalu duduk tertunduk, hening dalam sepi. Dia berusaha mendengarkan Tuhan. Namun tidak ada vokal apa pun. Tetapi dia meneguhkan hatinya. Dengan sungguh ia memohon agar Tuhan berkenan berbicara.
Waktu berlalu secepat kilat, entah berapa lama. Dalam teluh kebisuan dia tidak lagi menyadari keberadaan orang-orang maupun hiruk-pikuk di sekitarnya. Lebur luluh di kedalaman transendental itu - alam batin itu - mimpi terasa bagai kenyataan dan kenyataan bagaikan mimpi, mengalir tanpa kekangan ruang-waktu. Dengan bebas jiwanya melayang bolak-balik ke masa lalu, ke masa kini, ke masa depan, bolak balik. Dia menikmati lagi masa kecilnya, penuh kasih- sayang ayah ibunya. Terasa lagi lezatnya belajar bersama para pengasuh dan guru-gurunya yang sabar. Gurih, kala para ajudan dan pembantu istana mengajarinya naik kuda, berenang, dan berburu. Juga,karena kenakalan kanak-kanaknya, satu kali buaya hampir melibasnya, ular hampir mematoknya, dan berbagai kecelakaan nyaris merenggut nyawanya. Sampai tiba-tiba dia telah mendengar suara Tuhan: "Aku memelihara, menyayangi, dan mengasihimu putra-Ku; hendaklah engkau memelihara, menyayangi, dan mengasihi rakyatmu pula".
"Ayah, aku berhasil mendengar suara Tuhan", seru putra mahkota tatkala tiba di istana. "Suara Tuhan tidak kudengar di telingaku, melainkan di hatiku. Di dalam batinku Tuhan berbicara, kalau aku nanti menjadi raja, aku harus memerintah dengan bijaksana. Dia membukakan mataku akan tugas-tugasku sebagai raja: mengayomi wong cilik, menyantuni seluruh warga, dan memikirkan keperluan rakyat."
Wajah baginda terang dan bersinar. Semakin lama tubuh raja makin condong ke depan seolah-olah berkata: Aku ingin mendengar lebih banyak lagi !
Akhirnya berkatalah raja, "Anakku, kau lulus. Kau sudah berhasil mendengar suara Tuhan dan siap dilantik menjadi raja. Benar seperti tuturmu, suara Tuhan memang tidak kita dengar dengan gendang kuping, melainkan telinga batin. Kelak, ketika menjadi raja, engkau tidak boleh hanya mendengarkan laporan-laporan resmi para menterimu, panglimamu, hulubalangmu, atau pembisikmu. Tetapi kau harus turun sendiri ke dalam hati dan jiwa rakyatmu untuk menyimak suara-suara yang tidak terucapkan, aspirasi-aspirasi yang tidak terkemukakan, dan kerinduan-kerinduan yang tidak tersampaikan secara verbal- formal. Jika engkau melakukan semua itu, niscaya engkau menjadi raja yang dicintai rakyatmu."
Konon, sang raja dengan tenang mengundurkan diri--lengser keprabon madeg pandito-- dan menyerahkan tahta kepada anaknya. Raja baru ini menjadi seorang junjungan yang dicintai segenap rakyat dan ponggawa kerajaan.
*****
Pembaca yang budiman, kalau kita meneropong seluruh keberadaan kita di bawah mikroskop dan teleskop batin, sejak dari dalam kandungan hingga kini, menjelujuri seluruh titik-titik peristiwa dalam sejarah hidup kita, niscaya kita akan takjub sendiri karena keajaibannya, dan menjadi yakin bahwa Tuhan itu memang selalu menopang, menyantuni, mengayoni, dan memimpin kita. Imperatif moralnya, marilah kita juga—sesudah mensyukuri dan memuji kebaikan dan kebesaran-Nya—bertindak dan berlaku sebagai insan rahmatan bagi yang lain, seperti raja muda di atas: bagi seluruh insan, bagi seluruh dunia, bagi pekerjaan kita khususnya, bahkan bagi semesta alam. Itulah sebuah makna tentang menjadi insan rahmatan lil alamin.
SUMBER
tinggalkan komentar